KESALAHAN UMUM PENYAJIAN LAPORAN ARUS KAS PEMERINTAH DAERAH


Informasi terbaru KESALAHAN UMUM PENYAJIAN LAPORAN ARUS KAS PEMERINTAH DAERAH kami sediakan khusus untuk pembaca setia punyanbiu.blogspot.com, semoga informasi KESALAHAN UMUM PENYAJIAN LAPORAN ARUS KAS PEMERINTAH DAERAH memberikan pengetahuan lebih untuk kita semua. Oleh: Aan Husdianto (pekerja di BPK RI Perwakilan Prov. Gorontalo)

Tak terasa kita sudah memasuki awal tahun 2010, yang artinya pemeriksaan laporan keuangan pemerintah wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Laporan keuangan Pemerintah minimal terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan. Seringkali dalam pemeriksaan, kita fokus pada LRA dan Neraca saja sementara Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan seperti dianaktirikan. Hal ini mungkin disebabkan karena nilai-nilai yang tercantum dalam Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan hampir semua tinggal comot dari LRA ataupun neraca. Sekarang kita coba renungkan kembali khusus dalam penyajian Laporan Arus Kas.
Laporan Arus Kas
Laporan arus kas memberikan informasi historis mengenai perubahan kas dan setara kas suatu entitas pelaporan dengan mengklasifikasikan arus kas berdasarkan aktivitas operasi, investasi aset nonkeuangan, pembiayaan, dan non anggaran selama satu periode akuntansi. Tujuan penyusunan Laporan Arus Kas adalah memberikan informasi mengenai sumber, penggunaan, perubahan kas dan setara kas selama suatu periode akuntansi dan saldo kas dan setara kas pada tanggal pelaporan.
Laporan Arus Kas terdiri dari 4 bagian pokok, yaitu:
1. Arus Kas dari aktivitas operasi
2. Arus Kas dari aktivitas investasi
3. Arus Kas dari aktivitas pembiayaan
4. Arus Kas dari aktivitas Non Anggaran
Kesalahan Penyajian Arus Kas dari Aktivitas Non Anggaran
Di sini akan dibahas hanya pada Arus Kas dari aktivitas non anggaran, mengapa? Karena banyak Laporan Arus Kas Pemerintah Daerah audited yang menyajikan aktivitas non anggaran hanya berupa arus masuk/keluar kas dari penerimaan/pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) saja. Sementara aktivitas non anggaran juga berupa arus masuk/keluar kas dari penerimaan/pengeluaran kiriman uang dan sisa Uang Persediaan (UP)/ganti Uang (GU)/Tambah Uang (TU).
Arus kas non anggaran dari penerimaan/pengeluaran kiriman uang jarang ditemukan dalam suatu laporan arus kas pemerintah daerah (memang agak jarang terjadi). Penerimaan/pengeluaran kiriman uang yang merupakan aktivitas non anggaran bisa berupa:
- Penerimaan kiriman uang (non anggaran)
Penerimaan uang dari pihak ketiga kepada personal/pihak lain namun dikirim melalui kas daerah. Cth: penerimaan klaim uang taperum oleh kas daerah dari institusi yang mengelola taperum (ndak tau namanya..bapertarum kali) untuk dibayarkan kepada pegawai.
- Pengeluaran kiriman uang (non anggaran)
Pembayaran kepada pegawai atas klaim taperumnya.
Arus kas non anggaran dari sisa UP/GU/TU seharusnya pasti terjadi di setiap pemerintah daerah. Hal ini timbul karena kewajiban untuk mempertanggungjawabkan UP/GU/TU adalah tanggal 10 bulan berikutnya, sehingga sangat berpeluang apabila sisa GU/TU baru disetor setelah tanggal 31 Desember.
- Penerimaan sisa UP/GU/TU
Sisa UP/GU/TU yang telah disetor ke Kas Daerah oleh bendahara SKPD sebelum tanggal 31 Desember tahun berjalan.
- Pengeluaran sisa UP/GU/TU
Total sisa UP/GU/TU yang tidak dapat dibelanjakan dan dipertanggungjawabkan oleh SKPD sampai dengan tanggal 31 Desember tahun berjalan.
Ilustrasi penggalan Laporan Arus Kas yang biasa disajikan adalah sebagai berikut:

Gambar di atas menunjukkan bahwa arus kas yang disajikan adalah arus kas pemerintah daerah untuk entitas pelaporan (Bendahara Umum Daerah/BUD) maupun entitas akuntansi (Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD). Hal ini ditunjukkan pada kalimat “terdiri dari” yang mengandung arti arus kenaikan/penurunan kas tersebut merupakan kenaikan/penurunan kas di kas daerah,di bendahara penerimaan serta di bendahara pengeluaran.
Berdasarkan PSAP No. 03 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah:
Paragraf 8 “Arus kas adalah arus masuk dan arus keluar kas dan setara kas pada Bendahara Umum Negara/Daerah”.
Paragraf 12 “Entitas pelaporan yang wajib menyusun dan menyajikan laporan arus kas adalah unit organisasi yang mempunyai fungsi perbendaharaan”.
Paragraf 13 “Unit organisasi yang mempunyai fungsi perbendaharaan adalah unit yang ditetapkan sebagai bendaharawan umum negara/daerah dan/atau kuasa bendaharawan umum negara/daerah”.
Standar tersebut menunjukkan bahwa seharusnya informasi yang disajikan dalam Laporan Arus Kas hanya mutasi kas masuk/keluar pada fungsi perbendaharaan, yaitu BUD/DPPKAD sebagai entitas pelaporan (tidak termasuk SKPD). Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) UP/GU/TU merupakan pengeluaran non anggaran yang belum bisa dibebankan pada satu jenis belanja tertentu. Untuk itu, untuk setiap sisa SP2D UP/GU/TU merupakan bagian dari aktivitas non anggaran dan harus disajikan dalam laporan arus kas.
Sisa SP2D UP/GU/TU per 31 Desember 20xx merupakan arus kas keluar dari kas daerah dan sisa SP2D UP/GU/TU yang per 31 Desember 20xx telah disetor ke Kas Daerah merupakan arus kas masuk non anggaran.
Ilustrasi penggalan laporan arus kas yang seharusnya disajikan adalah sebagai berikut:

Kenaikan dan penurunan kas yang disajikan dalam Laporan Arus Kas merupakan kenaikan/penurunan jumlah kas di BUD saja (tidak ada “kalimat terdiri dari”), dan nilai saldo akhir kas di BUD harus sama dengan saldo kas di BUD pada neraca per 31 Desember 20xx.
Pada dasarnya aktivitas non anggaran bukan hanya monopoli milik Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) namun seharusnya juga berisi arus masuk/keluar uang yang tidak dapat diakomodir dalam APBD (sesuai dengan kata ‘non anggaran’ bahwa arus masuk/keluar uang tersebut tidak dapat dibebankan dalam APBD) namun melalui kas daerah. Oleh karena itu, arus masuk/keluar uang dari aktivitas non anggaran dalam Laporan Arus Kas apabila transaksinya ada, harus disajikan sebagai berikut:

Mohon koreksi apabila ada yang kliru…maklum ndak punya senjata Ak!!! Tinggalkan komentar anda tentang KESALAHAN UMUM PENYAJIAN LAPORAN ARUS KAS PEMERINTAH DAERAH jika anda suka dengan artikel yang kami suguhkan.

Tidak Ada Drivernya


Informasi terbaru Tidak Ada Drivernya kami sediakan khusus untuk pembaca setia punyanbiu.blogspot.com, semoga informasi Tidak Ada Drivernya memberikan pengetahuan lebih untuk kita semua. Si Anton baru saja dibelikan laptop baru oleh bosnya. Sedang asyik mencoba-coba laptopnya, tiba-tiba bosnya (yang gaptek) memintanya untuk mengetikan surat dan menge-print-kan surat ke rekan bisnisnya. Lima menit, 10 menit, 20 menit, bosnya menunggu, kok belum juga diserahkan sama anton. Kemudian dengan marah bosnya berkata ke Anton.

Bos : Ton, kamu bisa kerja ga sih…!!! cuma ngetik surat dan ngeprintnya aja lama banget…..!!! kan dah punya laptop baru..!!!

Anton : Iya pak sebentar lagi…

Bos : udah 20 menit lebih masak ga jadi-jadi….kan cuma sedikit konsep surat yang mesti kamu ketik dan print…!!!

Anton : iya pak…ngetik konsep suratnya sudah jadi, tinggal print saja….

Boss: oke cepat saya tunggu…!!!!

Anton : baik pak…l

Lima menit, 10 menit, 20 menit belum juga kelar tuh surat. Bosnya makin marah saja dan memanggil Anton.

Bos : Ton..kamu niat kerja ga sih…!!! sudah dibelikan laptop baru, kerja bukannya cepat tapi malah lambat…..!!!!

Anton : Maaf…pak….Surat sudah dari tadi selesai diketik, tapi pas mau print..tidak ada drivernya…ini sedang saya cari….

Bos : Bodoh sekali kamu…masak ngeprint aja mesti nyari sopir…..!!!!!

Anton:……?????????? Sopir….???? Driver printer pak…bukan sopir…. Tinggalkan komentar anda tentang Tidak Ada Drivernya jika anda suka dengan artikel yang kami suguhkan.

KETIKA PAK KYAI NAIK HAJI DENGAN DANA APBD


Informasi terbaru KETIKA PAK KYAI NAIK HAJI DENGAN DANA APBD kami sediakan khusus untuk pembaca setia punyanbiu.blogspot.com, semoga informasi KETIKA PAK KYAI NAIK HAJI DENGAN DANA APBD memberikan pengetahuan lebih untuk kita semua. (Based on True Story Pengelolaan Keuangan Daerah)

Pak Markum sehari-hari adalah pedagang di pasar , namun beliau juga menjadi imam masjid wilayah di sebuah kampung di Pemerintah Daerah X. Suatu daerah yang sering mendapat sebutan sebagai serambi Madinah. Beliau sangat dihormati oleh tetangga-tetangganya. Karena perannya itu pula seringkali masyarakat di kampungnya memanggil dengan sebutan pak kyai kepadanya, walaupun Pak Markum sendiri belum pernah naik haji. Seseungguhnya dari lubuk hati yang paling dalam, pak Markum pingin sekali untuk bisa memenuhi panggilan Allah untuk menjadi tamu Allah dengan naik haji. Tetapi, bagaimana mau naik haji, penghasilan sebagai pedagang hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari saja. Namun demikian, jika di banding dengan masyarakat di kampungnya, beliau masih bisa dibilang beruntung, karena masih banyak tetangga-tetangganya yang secara ekonomi jauh dari pas-pasan. Mereka untuk bisa makan sehari-hari saja masih kesulitan.
Pada suatu hari Pak Markum mendapat kabar dari Kepala Desa, bahwa dia akan diberangkatkan haji oleh Pemerintah Daerah X. Memang sudah empat tahun terakhir ini sejak tahun 2006, Pemda X mempunyai program memberangkatkan haji secara gratis kepada semua imam wilayah/masjid dan juga para tokoh masyarakat/karyawan/bidan/guru/penyuluh pertanian teladan di Pemda tersebut. Barangkali sebagai investasi bagi Kepala Daerah yang lagi menjabat dalam rangka Pilkada periode keduanya nanti (pikiran buruk penulis saja barangkali). Dan rupanya sekarang pak Markum dapat giliran, setelah 3 gelombang telah dilaksanakan 3 tahun terakhir. Maklum sebagai imam masjid kecil, sudah sepantasnya baru mendapat giliran belakangan. Tentunya setelah imam masjid agung dan masjid-masjid yang relatif dekat dengan ibukota kabupaten telah diberangkatkan haji 3 tahun terakhir.
Mendapat berita suka cita itu, pak Markum mengucap “Alhamdulillah......” . Sambil bergumam dia berkata,”memang Allah memberikan rejeki dari arah yang tak diduga-duga”. Singkat cerita setelah melewati latihan-latihan manasik haji, berangkatlah dia ke tanah suci dan kembali dengan selamat. Sehingga dia sekarang resmi mempunyai gelar Haji di depan namanya. Masyarakat sekarang menambah sebutan bagi pak markum, yaitu dengan sebutan pak Kyai Haji Markum. Ada rasa yang berbeda di dada pak Markum sekarang, setiap tetangga-tetangganya menyebut gelar itu kepadanya. Entah itu rasa bangga, rasa lebih dari lainnya. Masyarakat rasanya semakin menghormatinya setelah dia memiliki gelar haji. Di setiap kesempatan, pak Markum dan juga para imam wilayah lainnya yang telah diberangkatkan haji, selalu memuji-muji pemda daerah X tersebut, karena mengadakan program memberangkatkan haji kepada semua imam masjid di kabupaten tersebut. Pemerintah sangat memperhatikan para ulama. Pak Markum beranggapan bahwa, rupa-rupanya ketulusan dia menjadi imam masjid di kampungnya, sangat dihargai pemerintah daerahnya. Buktinya dia diberikan kesempatan diberangkatkan naik haji dengan dibiayai dengan dana pemerintah, dana APBD.
Bagaimana tidak ? Pemerintah Daerah X untuk 2 tahun saja yaitu tahun 2008 dan 2009 telah merealisasikan anggaran untuk program ini sebesar masing-masing sebesar Rp811.750.000,00 dan Rp427.353.600,00 atau totalnya sebesar Rp1.239.103.600,00, itu belum termasuk 2 tahun sebelumnya yaitu tahun 2006 dan 2007. Dana tersebut hanya cukup untuk membiayai keberangkatan haji sebanyak 24 imam wilayah, 1 bidan teladan, 8 guru teladan, 1 tokoh masyarakat, 2 orang pemandu haji dan 1 penyuluh pertanian teladan. Atau hanya untuk 37 orang saja. Bagi Pak Markum, jumlah uang segitu tidak pernah dia memegangnya, bahkan membayangkannyapun tidak pernah terlintas dibenaknya.
Pada suatu hari Pak Markum dikejutkan dengan pemberitaan di koran lokal di daerah tersebut. Berita itu jadi headline dua surat kabar yang terbit di daerah tersebut. Dalam berita itu disebutkan bahwa Daerah X merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi jika dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain di satu pulau di negeri tercinta ini.
Pikiran Pak Markum sejenak terbang ke keadaan dan kondisi tetangga-tetangga disekelilingnya. Pikirannya melayang ke kondisi keluarga Pak Cryo, Pak Bams, Pak Imam, Pak Andi, Pak Aan, Pak Joni, Pak Panji, Pak Bayu, Pak Tito, Pak Yuli, Ibu Ummu, Ibu Icha, Ibu Novi, Ibu Vira, Ibu Gladies, dst, dst...yang jauh dari kondisi berkecukupan. Pikiran Pak Markum sepertinya tidak berhenti-berhenti, terus muncul dipikirannya nama-nama tetangganya yang lain, selain yang telah melintas dipikirannya tadi, yang kondisi kehidupannya masih sangat sulit, bahkan untuk makan sekedar satu kali sehari saja masih susah. Kadang malah mereka tidak bisa makan untuk beberapa hari.
Hatinya terketuk...., bukankah nama-nama tetangganya, yang sering menyapanya dengan pak Kyai Haji itu tadi berada di daerah yang sama dengan dia tinggal ? Yang membedakan barangkali, mereka menjalani kehidupan sehari-hari dengan sangat-sangat sulit dan penuh pejuangan. Memeras keringat, membanting tulang dan itupun belum tentu menjamin bisa untuk makan sehari-hari mereka ? “Barangkali mereka inilah sebagian kecil diantaranya yang dimaksud di berita di surat kabar itu...”pikir Pak Markum.
Pikiran Pak Markum kemudian beralih ke Pemerintah Daerah X tersebut. Pikirannya bertanya-tanya, dimana peran pemerintah daerah X tersebut untuk membantu mereka, para keluarga dan orang-orang melarat dan hidup dibawah garis kemiskinan. Jangankan bicara mengenai rumah, untuk makan sehari-hari saja, mereka masih susah. Dimana program-program pemda X untuk para rakyatnya yang miskin dan melarat ? Sepengetahuan Pak Markum program yang terkait langsung dengan tetangga-tetangganya yang kesulitan tadi, yang notabene rakyat-rakyat yang miskin dan melarat, sebagian besar berasal dari pemerintah pusat, seperti BLT, PNPM Mandiri, Jamkesmas, dll. Sedikit sekali program daerah X yang bersentuhan langsung dengan tetangga-tetangganya yang miskin dan melarat tersebut, gumam Pak Markum. Barangkali hanya program “Mahyani atau rumah layak huni” saja yang berasal dari program pemda X tersebut, itupun dalam pelaksanaannya menurut Pak Markum masih ada ketidakadilan. Bagaimana mau adil, lha yang diutamakan pertama kali menerima bantuan untuk membangun rumah juga para kepala dusun. Tidak untuk para tetangganya yang benar-benar membutuhkan rumah layak huni tersebut.
Kemudian Pak Markum merefleksi lontaran pujian-pujiannya pada waktu-waktu sebelumnya kepada pemda X tentang bagaimana pemda X tersebut sangat memperhatikan seperti dirinya, atau para imam-imam masjid lainnya dengan program memberangkatkan haji semuanya dengan gratis (walaupun sesungguhnya dengan dana APBD). Membangunkan masjid-masjid dengan megah dan agung, walaupun sesungguhnya dana yang direalisasikan sampai melampaui anggaran yang telah ditetapkan dalam APBD,. Seakan-akan program-program yang sebelumnya dia anggap baik dari Pemda X, jadi hilang seketika. Bukankah ternyata masih banyak tetangganya/rakyat di daerah X tersebut yang jauh lebih membutuhkan dana-dana atau program-program pemerintah daerah yang bisa mengangkat tetangga-tetangganya dari dasar bawah garis kemiskinan. Ataukah memang Pemda X tersebut lebih mementingkan program-program yang lebih ke penampilan fisik dan prestise para tokoh-tokoh masyarakatnya dan para imam-imam masjidnya dan tempat-tempat ibadahnya. Daripada pembangunan rohani, dan pengentasan masyarakatnya dari kesulitan-kesulitan hidup untuk bisa segera meningkat kesejahteraannya.
Demikian pikiran-pikiran Pak Markum terus bergelut. Tiba-tiba pikiran Pak Markum teringat, bukankah syarat paling utama naik haji adalah wajib bagi yang mampu, bukan bagi para tokoh masyarakat/imam masjid/wilayah atau bagi pegawai-pegawai teladan. Baik mampu secara mental dan terutama adalah mampu secara ekonomi. Namun tidak halnya barangkali bagi pejabat di daerah X, yang sering mendapat sebutan sebagai serambi Madinah itu, pikir Pak Markum. Rupanya ada syarat lain yang penting juga untuk bisa naik haji, apalagi dengan gratis!, yaitu dengan menjadi tokoh masyarakat/adat atau imam masjid di daerah X tersebut. Dan syarat ini telah ditetapkan oleh para pemangku kekuasan di daerah X tersebut, baik kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Karena merekalah yang mengusulkan dan menetapkan anggaran untuk memberangkatkan haji para tokoh masyarakat/adat dan juga imam masjid di daearah X tersebut dengan dana APBD.
Akhirnya, Pak Markumpun kembali berfikir dan mohon ampun kepada Allah. Karena sesungguhnya pada saat menerima kabar bahwa dia akan diberangkatkan haji oleh pemda X dulu, dia berfikir bahwa itu merupakan rejeki/anugerah dari Allah. Dia menganggap itu merupakan “rejeki yang tidak disangka-sangka darimana arahnya”. Dia lupa bahwa sesungguhnya dana untuk hajinya itu seharusnya bukan sepantasnya untuk dirinya, atau untuk para tokoh-tokoh masyarakat yang lain. Karena secara ekonomi mereka jauh lebih baik dibanding tetangga-tetangganya yang miskin dan melarat, yang juga merupakan jemaah-jemaahnya. Seharusnya pada waktu itu dia berfikir bahwa sebenarnya kabar dia akan diberangkatkan haji dengan dana APBD tersebut merupakan bentuk ujian dari Allah, dan bukannya merupakan anugerah. Ujian kepada dirinya, apakah dia akan mementingkan dirinya atau mementingkan jemaahnya. Walaupun secara sekilas, seakan-akan dia membuktikan kecintaannya kepada Allah, dengan datang ke “rumahNYA”, namun sesungguhnya Pak Markum berprasangka bahwa “Allah tidak akan senang akan pilihannya itu”, karena dengan “mengkorbankan dan mengambil” dana rakyat miskin dan melarat para tetangga-tetangganya, para jemaahnya.
Untuk menghilangkan rasa bersalahnya, Pak Markum menghentikan membaca berita di surat kabar itu dan berniat meletakan kembali di meja. Namun sebelum itu terjadi, dia sempat sekilas membaca, satu judul berita di satu kolom kecil dihalaman surat kabar yang sama, yang tertulis bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi X menemukan penyimpangan dalam pengelolaan dana program memfasilitasi haji bagi para tokoh masyarakat dan imam wilayah daerah X. Yang diantaranya menyebutkan bahwa BPK menemukan potensi penyalahgunaan dana sebesar Rp213.123.448,00 dan adanya sisa dana yang belum disetor ke kas daerah sebesar Rp46.551.048,00. Walaupun dalam berita tersebut BPK tidak menyebutkan adanya kerugian daerah untuk biaya memberangkatkan haji bagi para tokoh masyarakat dan para imam wilayah/masjid, karena telah dianggarkan dalam Perda APBD. Namun tetap saja rasa bersalah Pak Markum tidak bisa hilang, karena dia merasa telah mengambil jatah orang-orang miskin yang bukan merupakan haknya. Astafirlullah...sebut Pak Markum dengan rasa bersalah dan menyesal yang mendalam...

KISAH INI BUKAN SARA ATAU INGIN MENDISKREDITKAN UMAT TERTENTU. Kisah ini terinspirasi oleh kisah nyata program haji yang diselenggarakan oleh satu pemerintah daerah di negeri tercinta ini. Namun untuk nama dan peristiwa Pak Markum hanya fiksi belaka, sekedar supaya bisa menuangkan cerita penyimpangan pengelolaan keuangan daerah dengan sedikit lebih menarik dan tidak membosankan. Dana pelaksanaan program haji dan penyimpangan-penyimpangan yang ditemukan BPK adalah berdasarkan data nyata dalam suatu LHP BPK RI. Demikian juga berita bahwa daerah X merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi adalah berdasarkan dari sumber berita yang benar.Selanjutnya adalah sebagai bahan instropeksi kita selaku auditor, apakah sudah cukup sikap kita dan juga rekomendasi BPK dalam menyikapi permasalahan penyimpangan pengelolaan keuangan tersebut ? Terima Kasih, semoga bisa bermanfaat. Amin... Tinggalkan komentar anda tentang KETIKA PAK KYAI NAIK HAJI DENGAN DANA APBD jika anda suka dengan artikel yang kami suguhkan.