PENGELUARAN TANPA ANGGARAN, BPK MENGAMBIL ALIH KEWENANGAN LEMBAGA LAIN


Informasi terbaru PENGELUARAN TANPA ANGGARAN, BPK MENGAMBIL ALIH KEWENANGAN LEMBAGA LAIN kami sediakan khusus untuk pembaca setia punyanbiu.blogspot.com, semoga informasi PENGELUARAN TANPA ANGGARAN, BPK MENGAMBIL ALIH KEWENANGAN LEMBAGA LAIN memberikan pengetahuan lebih untuk kita semua. (Oto Kritik atas Rekomendasi BPK)
Oleh : JAP

Besarnya kewenangan BPK RI, terkadang tanpa disadari “BPK” tidak menggunakan kewenangan itu secara tepat, atau disisi lain “BPK” menggunakan kewenangan itu untuk mengambil alih kewenangan lembaga/institusi lain yang secara sah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Coba kita cermati dari rekomendasi “BPK” atas hasil-hasil pemeriksaannya, khususnya untuk temuan pemeriksaan yang menyangkut pengeluaran-pengeluaran tanpa anggaran/pengeluaran-pengeluaran melebihi anggaran yang dilakukan oleh auditee, baik itu terkait APBN maupun APBD termasuk penggunaan langsung dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Rekomendasi yang lazim diberikan oleh “BPK” terkait temuan-temuan tersebut ada dua tipe, yaitu memerintahkan kepada pimpinan entitas: (a) menegur bagian-bagian yang secara aturan “formal” terkait dengan pengeluaran tersebut, (b) menginstruksikan bagian-bagian yang secara aturan “formal” terkait dengan pengeluaran tersebut mempertanggungjawabkan dan apabila tidak bisa mempertanggungjawabkan agar menyetorkan ke kas negara/daerah.
Sekilas tidak ada yang salah atas rekomendasi-rekomendasi tersebut, tetapi sesungguhnya untuk kasus/penyimpangan terkait masalah tersebut secara umum, rekomendasi tersebut mengandung unsur yang penulis sebut di awal tulisan ini, yaitu “BPK” menggunakan kewenangannya untuk menganulir dan mengambil alih kewenangan lembaga/institusi lain, sehingga “BPK” tidak menggunakan kewenangannya dengan secara tepat. Dan jangan lupa, bersamaan dengan penganuliran dan pengambilalihan kewenangan lembaga/institusi lain tersebut, mengandung resiko juga terhadap BPK. Disamping itu, ketidaktepatan rekomendasi “BPK” sering dijadikan alasan pembenaran atas penyimpangan-penyimpangan pengelolaan keuangan negara/daerah yang dilakukan oleh auditee, serta sering kali memicu terjadinya kejadian yang sama terulang setiap tahun. Bagaimana itu bisa terjadi ?
Berbasis Anggaran
Pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan kata lain sistem pengelolaan keuangan di negara tercinta kita ini, sampai dengan saat ini, adalah semuanya berbasiskan anggaran. Yang antara lain berarti bahwa setiap pengeluaran kas negara/daerah harus ada anggarannya yang termuat dalam APBN/APBD. Banyak peraturan perundangan yang menyebutkan hal itu. Dan bahkan atas penyimpangan dari hal itu, secara tegas dalam peraturan perundangan disebut sebagai tindak pidana dalam konteks pengeluaran tidak ada anggarannya/melebihi anggaran atau paling tidak diancam denda beberapa kali lipat atas penggunaan langsung dalam konteks PNBP.
Coba kita rujuk beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan masalah tersebut :
a. UU no 17 tahun 2003
Pasal 34 ayat (1) s.d (3) : (1) Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang; (2) Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang; (3) Presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang kepada pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini;
b. UU No 1 Tahun 2004,
Pasal 3 ayat (1) s.d (3): (1) Undang-undang tentang APBN merupakan dasar bagi Pemerintah Pusat untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran negara; (2) Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran daerah; (3) Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.
Pasal 18 ayat (3) : Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud;
c. Permendagri No 13 tahun 2006
Pasal 15 (3) dan 16 ayat (1 s.d 6) yang menyatakan APBD mempunyai fungsi otorisasi (berarti anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan), perencanaan (anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan), pengawasan(anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan), alokasi (anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian), distribusi (kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan)dan stabilisasi (anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian).
Pasal 21 APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
Pasal 122 ayat (1) Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaanurusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD. (3) Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, (5) Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap pengeluaran belanja, (6) Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD, (7) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.
d. Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan Keputusan Menteri Keuangan No.115/KMK.06/ 2001 tanggal 07 Maret 2001 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Perguruan Tinggi Negeri, masing-masing pada:
1) Pasal 4 dan Pasal 4 (a) yang menyatakan bahwa seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara;
2) Pasal 5 dan Pasal 4 (b) yang menyatakan bahwa seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
e. Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu, pada Pasal 5 yang menyatakan bahwa instansi dapat menggunakan sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 setelah memperoleh persetujuan dari Menteri.
Semua aturan diatas, dan masih banyak lagi peraturan yang mengatur hal yang sama, menegaskan bahwa semua hal yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara/daerah haruslah sesuai dengan APBN/APBD yang telah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga sudah sangat jelas bahwa pelanggaran atas ketentuan tersebut bukanlah hanya sekedar pelanggaran/penyimpangan yang bersifat administratif belaka, bahkan di UU no 17 tahun 2003, disebutkan dengan jelas penyimpangan kebijakan dari APBN/APBD diancam pidana penjara. Apakah demikian juga “BPK” memandangnya ?
“BPK” sampai dengan saat ini, kalau kita membaca rekomendasi dalam Laporan Hasil Pemeriksaan terkait dengan penyimpangan APBN/APBD dan penggunaan langsung dalam kaitan PNBP, sebagian besar masih menggolongkan penyimpangan tersebut hanya bersifat administratif belaka. Hal ini bisa dilihat dari bahasa rekomendasi yang diberikan yaitu hanya berupa teguran, dan kalaupun ada rekomendasi yang lain, paling-paling adalah “untuk mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran itu dan apabila tidak bisa mempertanggungjawabkan, diharuskan menyetor dengan copy bukti setor disampaikan kepada BPK”. Jadi jangan heran kalau temuan penyimpangan tersebut akan terus berulang ditemukan, karena “BPK” hanya menganggap dalam kategori penyimpangan administratif. Bagi auditee, temuan yang bersifat administratif tentunya akan dianggap remeh, karena tindak lanjutnya adalah hanya memberikan teguran, tidak ada konsekuensi lain bagi pelaku penyimpangan tersebut, TGR misalnya.
Sebagian besar dari kita seakan menutup mata atau membatasi diri kita sendiri dalam menilai penyimpangan atas pengeluaran tidak tersedia/kurang tersedia anggaran maupun penggunaan langsung PNBP tersebut, sebagai sekedar pelanggaran administratif belaka. Dan mengesampingkan adanya pelanggaran lain yang lebih besar/fatal/mendasar. Walaupun sesungguhnya telah terjadi pengeluaran-pengeluaran uang negara/daerah yang tidak sah/ilegal dan tanpa dasar hukum, yang tentunya berakibat adanya kerugian negara/daerah, yaitu berkurangnya aset pemerintah baik berupa kas atau timbulnya kewajiban/utang pemerintah di tahun berjalan dan tahun berikutnya atas pengeluaran-pengeluaran tanpa anggaran/tidak tersedia cukup anggarannya maupun penggunaan langsung yang merupakan pengeluaran ilegal/tanpa dasar hukum.
Terjadi Kerugian Negara/Daerah ?
Kerugian negara/daerahnya dimana? Pertanyaan itu selalu yang muncul dalam setiap perdebatan terhadap pembahasan temuan penyimpangan APBN/APBD maupun penggunaan langsung tersebut. Atau pertanyaan lain yang “mencoba bijak” yaitu kalau penyimpangan tersebut mengakibatkan kerugian, siapa yang harus mengganti ? Atau ada argumen lain yang sering diajukan, “jika pengeluaran-pengeluaran tersebut digunakan untuk kegiatan pemerintah atau ada barangnya dari pengeluaran tersebut, tidak apa-apalah pelanggaran APBN/APBD atau penggunaan langsung tersebut”. Sehingga rekomendasi BPK yang kemudian muncul adalah teguran dan mempertanggungjawabkan pengeluaran tersebut, kalau tidak bisa harus menyetor.
Pengertian kerugian negara/daerah pada dasarnya dibagi dua yaitu (1) kerugian negara/daerah dalam arti sempit, yaitu sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang nomor: 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 1 ayat (22) : kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai; dan (2) kerugian negara/daerah dalam arti luas, yaitu kerugian atas keuangan Negara/daerah secara luas meliputi seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena (1) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; (2) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Kerugian negara/daerah dapat terjadi antara lain karena :
1. Pengeluaran suatu sumber / kekayaan negara / daerah (dapat berupa uang atau barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan;
2. Pengeluaran suatu sumber / kekayaan negara / daerah lebih besar dari yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku;
3. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima (termasuk di antaranya penerimaan uang palsu, barang fiktif);
4. Penerimaan sumber / kekayaan negara / daerah lebih kecil / rendah dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak sesuai);
5. Timbulnya suatu kewajiban negara / daerah yang seharusnya tidak ada;
6. Timbulnya suatu kewajiban negara / daerah yang lebih besar dari yang seharusnya;
7. Hilangnya suatu hak negara / daerah yang seharusnya dimiliki/diterima menurut aturan yang berlaku;
8. Hak negara / daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima.
Dengan melihat kondisi-kondisi tersebut diatas, pengeluaran-pengeluaran tanpa atau tidak cukup tersedia anggarannya maupun penggunaan langsung PNBP dapat mengakibatkan kerugian negara/daerah. Bukankah telah terjadi kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai ? Bukankah juga telah terjadi pengeluaran suatu sumber / kekayaan negara / daerah (dapat berupa uang atau barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan atau lebih besar dari yang seharusnya ? Bukankah telah terjadi timbulnya suatu kewajiban negara / daerah yang seharusnya tidak ada atau lebih besar dari yang seharusnya ? Dan bukankah telah terjadi hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima atau hilangnya suatu hak negara / daerah yang seharusnya dimiliki/diterima menurut aturan yang berlaku atau hak negara / daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima ?
Dengan kondisi-kondisi tersebut diatas, masihkah akan BPK menganggap penyimpangan APBN/APBD maupun penggunaan-penggunaan langsung PNBP hanya sekedar pelanggaran administratif atau hanya sekedar pemborosan keuangan negara/daerah ? Kita seharusnya mesti mempertimbangkan bahwa pengeluaran-pengeluaran tersebut jelas terjadi karena kelalaian dan perbuatan melawan hukum. Janganlah kita “mencoba bijak” dengan menyatakan siapa yang harus mengembalikan kerugian negara/daerah tersebut atau dengan mencoba mengkaitkan dengan “bagaimana tindaklanjutnya nanti ? atau berargumen akan berlarut-larutnya tindak lanjut temuan pemeriksaan tersebut. Karena sesungguhnya ada hal lain yang lebih mendasar, yaitu sesungguhnya “BPK” telah mengambil alih kewenangan lembaga/institusi lain dengan bersikap seperti itu.
Mengambil Alih Kewenangan Lembaga Lain ?
Rekomendasi BPK yang menyatakan pejabat yang bersangkutan untuk mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran tanpa anggaran/kurang tersedia anggarannya maupun atas penggunaan langsung (dalam konteks PNBP) dan apabila tidak bisa mempertanggungjawabkan, diharuskan menyetor, sesungguhnya bisa diartikan BPK telah mengambil alih kewenangan lembaga lain, dalam hal ini DPR/DPRD dan atau menteri keuangan. Mari coba kita telaah lebih lanjut pernyataan tersebut.
Seperti sudah diketahui bersama bahwa hak Budget, hanya dimiliki oleh DPR/DPRD selaku lembaga representatif rakyat. Kewenangan terkait penetapan UU/perda APBN/APBD hanya dimiliki oleh Lembaga ini. Pemerintah setiap tahunnya, sebagai salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara/daerah, akan mempertanggungjawabkan pelaksanaan APBN/APBD tersebut kepada DPR/DPRD. Disisi lain terkait penggunaan langsung PNBP dinyatakan bahwa penggunaan langsung PNBP dapat dilakukan jika telah mendapatkan ijin dari Menteri Keuangan (sesuai pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1999). Dengan BPK menyatakan untuk mempertanggungjawabkan pengeluaran tanpa/tidak tersedia cukup anggarannya, berarti BPK menyatakan jika pengeluaran-pengeluaran tersebut telah dipertanggungjawabkan dengan bukti-bukti pertanggungjawaban dan BPK menyatakan bisa menerima pertanggungjawaban tersebut, permasalahan penyimpangan APBN/APBD telah selesai. Auditee tidak lagi mempunyai permasalahan lagi terkait penyimpangan APBN/APBD lagi, sehingga teguran saja sudah cukup.
Pertanyaan selanjutnya adalah terus bagaimana dengan telah terjadinya kerugian negara/daerah akibat pengeluaran yang tidak ada dasar hukumnya, yaitu kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai, yang terjadi karena pengeluaran yang tidak seharusnya terjadi atau timbulnya kewajiban pemerintah ditahun berikutnya yang seharusnya tidak terjadi atau hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima ? BPK seakan-akan menganulir batasan-batasan pengeluaran yang diatur dalam APBN/APBD yang telah ditetapkan oleh DPR/DPRD dalam UU/perda.
Demikian juga jika rekomendasi tersebut diatas dikaitkan dengan penggunaan langsung atas PNBP tanpa seijin menteri keuangan. BPK juga mengambil alih kewenangan menteri keuangan dalam memberikan ijin tentang boleh tidaknya penggunaan langsung PNBP pada instansi yang bersangkutan atas penggunaan langsung PNBP, karena bahasa rekomendasi BPK yang menyatakan bahwa kepada pejabat yang bersangkutan untuk mempertanggungjawabkan penggunaan langsung PNBP tersebut, dan apabila tidak dapat mempertanggungjawabkan diharuskan menyetor. Jadi secara implisit dinyatakan bahwa jikalau auditee telah mempertanggungjawabkan dan BPK telah menerima pertanggungjawaban penggunaan langsung PNBP tersebut, tidak perlu lagi meminta ijin ke menteri keuangan penggunaan langsung PNBP itu.
Lebih jauh, takutnya, BPK nantinya bisa dikatakan telah melanggar UU/PP/Perda/Peraturan lainnya yang berlaku terkait APBN/APBD. Sesungguhnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, BPK tidak sedikitpun memiliki kewenangan untuk menetapkan UU/Perda APBN/APBD atau kewenangan memberikan ijin boleh tidaknya penggunaan langsung PNBP. Sehingga sudah seharusnya kita lebih berhati-hati terkait rekomendasi tersebut, bukan hanya sekedar BPK bisa dikatakan mengambil alih kewenangan lembaga lain, tetapi juga karena resiko yang timbul dari rekomendasi tersebut kepada BPK sendiri.
Resiko BPK
Berdasarkan pertimbangan biaya-manfaat, auditor pada umumnya tidak mungkin melakukan pemeriksaan atas semua transaksi, sehingga pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK lebih banyak menggunakan metode sampling. Disamping itu dalam setiap pemeriksaan dengan sendirinya didalamnya melekat resiko audit. Risiko audit terdiri dari tiga unsur, yaitu risiko bawaan, risiko pengendalian, dan risiko deteksi. Risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat kebijakan dan prosedur pengendalian intern yang terkait. Risiko pengendalian adalah risiko terjadinya salah saji material dalam suatu asersi yang tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh pengendalian intern entitas. Risiko deteksi adalah risiko sebagai akibat auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi.
Dengan kondisi tersebut diatas terkait dengan pengeluaran tanpa/tidak tersedia cukup anggarannya ataupun penggunaan langsung atas PNBP dengan rekomendasi BPK untuk mempertanggungjawabkan dan apabila tidak dapat mempertanggungjawabkan, diharuskan menyetor ke kas negara/daerah. Dan juga karena penyampaian bukti-bukti pertanggungjawaban pengeluaran tersebut akan disampaikan oleh auditee pada saat tindak lanjut (diluar pemeriksaan lapangan). Maka pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana BPK bisa memverifikasi kebenaran bukti-bukti pertanggungjawaban tersebut, karena BPK tidak bisa lagi melakukan langkah-langkah pemeriksaan substantif atas bukti-bukti pertanggungjawaban tersebut. Bagaimana BPK dapat menguji bukti-bukti pertanggungjawabnya secara populasi atas seluruh transaksi yang telah terjadi diluar/yang menyimpang dari APBN/APBD dengan jumlah pengeluaran yang tidak sedikit/bahkan bisa bermilyar-milyar? Bagaimana BPK bisa mengambil kesimpulan bisa menerima pertanggungjawab pengeluaran-pengeluaran yang diluar APBN/APBD tersebut bebas dari fraud ? Bagaimana bisa BPK menyakini bukti-bukti pertanggungjawaban yang disampaikan adalah bukti yang lengkap, sah dan benar tanpa melakukan langkah-langkah pemeriksaan substantif ?
Resiko-resiko diatas yang mungkin akan dihadapi BPK dengan bahasa rekomendasi yang demikian. Lain halnya jika BPK dapat merekontruksi kembali bahasa rekomendasi, yaitu menyesuaikan bahasa rekomendasi dengan peraturan perundangan yang mengaturnya. Langkah ini disamping akan menghindarkan BPK dari resiko-resiko tersebut diatas, juga BPK dapat meletakan kembali permasalahan penyimpangan APBN/APBD ke ranah peraturan perundangan yang mengaturnya, yaitu bahwa penyimpangan tersebut bukan hanya sekedar pelanggaran yang bersifat administratif, tetapi juga merupakan penyimpangan yang digolongkan kedalam tindak pidana, bahkan tidak menutup kemungkinan merupakan tindak pidana korupsi. Bukankah unsur-unsur tindak pidana korupsi yaitu adanya perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh pejabat publik yang dapat mengakibatkan terjadinya kerugian negara/daerah, sehingga menguntungkan pihak lain telah terpenuhi..? Tinggalkan komentar anda tentang PENGELUARAN TANPA ANGGARAN, BPK MENGAMBIL ALIH KEWENANGAN LEMBAGA LAIN jika anda suka dengan artikel yang kami suguhkan.

The federal grant is not a free lunch

The federal government does not include grants to individuals to ease their debts. And the people who receive federal grants to standards of accountability daunting. The federal grant is by no means "free money" or a "free lunch". But a federal subsidy may make good on an organization or community.

Meanwhile, the federal government sponsor a series of benefit programs for low-income families.

If you need a free lunch, the federal government can not help but give you give. The federal government will provide their children with free or reduced price lunch at school, but you will not get a grant for it. The federal government will provide food stamps, you what you need for your free lunch, but the feds did not give a grant for it. Despite much publicity and strong striking, President Obama, really want to pay your Diners Club or follow their dreams funding for cold fusion. It is, however, want to raise families in poverty and foster the development of new business. Advertisers do not have blatantly lied, but they avoid the details.

Federal grants to people

If you want to start a business in government spending, the Small Business Information Administration extends a grant for planning and "capacity building", but the money from SBA loans to businesses themselves. If you want to go to school, and government costs, receive help for 30% of their costs, and if you have qualifications and experience amazing out of work, you may be eligible for one of government public services or special research grants. If not, the federal government will pay for your schools with Stafford Loans. If you are a teacher and an innovative idea for the system, or reducing the dropout rate, the federal government is happy to send a donation ... provided that their school district and community partners will match the contributions from the Government.

The government awards thousands of scholarships every year, but none of them with "free money", and trained grantsmen federal witness, "often works more difficult to manage the grant which is working to manage their projects. "

Some research for you. The experts give the government can help you get the award you deserve to help you get out of debt quickly. You can find out if you qualify for a government subsidy for free!

Para Anggota Dewan Berbondong-bondong Konsultasi ke Depdagri (Surat Terbuka ke Mendagri/Depdagri)


Informasi terbaru Para Anggota Dewan Berbondong-bondong Konsultasi ke Depdagri (Surat Terbuka ke Mendagri/Depdagri) kami sediakan khusus untuk pembaca setia punyanbiu.blogspot.com, semoga informasi Para Anggota Dewan Berbondong-bondong Konsultasi ke Depdagri (Surat Terbuka ke Mendagri/Depdagri) memberikan pengetahuan lebih untuk kita semua. Sudah menjadi fenomena di daerah bahwa para anggota dewan melakukan perjalanan dinas ke jakarta secara bersama-sama atau rombongan hanya untuk konsultasi ke Depdagri. Hal yang dikonsultasikan kadang merupakan hal-hal yang sepele dan remeh temeh, yang sebenarnya kalau mau membaca peraturan yang ada sih sudah jelas. Akan tetapi dengan alasan yang tidak begitu jelas benar, para anggota dewan yang terhormat ini secara bersama-sama datang ke depdagri untuk sekedar konsultasi atau tepatnya cuma sekedar bertanya suatu hal boleh atau tidak. Dan perjalanan dinas atas nama konsultasi ini bisa lebih dari hitungan jari tangan dalam setahun. Bisa dibayangkan berapa uang APBD yang mereka habiskan untuk membiayai perjalanan dinas mereka.
Saya sarankan Mendagri membuat aturan tentang perjalanan dinas DPRD baik terkait larangan perjalanan konsultasi ke depdagri atau paling tidak dibatasi jumlahnya baik jumlah orangnya maupun jumlah perjalanan konsultasi ke Depdagrinya. Karena diindikasikan bahwa alasan konsultasi tersebut hanya sebagai dalih mereka untuk bisa mencairkan biaya perjalanan dinasnya, karena ingat bahwa masih ada anggapan bahwa biaya perjalanan dinas itu sebagai tambahan penghasilan mereka.
Saya yakin dengan aturan Mendagri/Depdagri tersebut akan bisa mencegah pemborosan keuangan daerah, dan biaya perjalanan dinas tersebut bisa dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang langsung menyentuh dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan, kemiskinan/kesehatan/pendidikan, yang terjadi di daerah-daerah. Tinggalkan komentar anda tentang Para Anggota Dewan Berbondong-bondong Konsultasi ke Depdagri (Surat Terbuka ke Mendagri/Depdagri) jika anda suka dengan artikel yang kami suguhkan.

Banyak Makan Duren, Panas Dalam Menyerang

Kemarin benar-benar hari yang sangat menyenangkan, saya makan duren 2 buah bersama pacar. Enaknya memang tiada tara kalo kita lagi menikmati buah yang berwarna kuning dan dengan kulit berduri ini. Tidak terasa saya sudah menghabiskan dua durian bersama pacar. Kami menikmati durian itu tanpa berpikir masalah apa yang akan ditimbulkan oleh si buang kuning berduri itu.

Dan sekarang, hal yang saya takutkan terjadi juga. Bibir menjadi pecah-pecah, dan makan juga susah karena sariawan menyerang tepat di bibir kanan bawah. Untuk saja Cuma saya saja yang terkena, dan pacar saya dia masih aman sampai sekarang. Beruntung saya punya tanaman belimbing asam yang bisa digunakan OBAT HERBAL untuk mengobati panas dalam yang menyiksa ini. Bagaimanakah stepnya agar belimbing asam bisa berubah menjadi OBAT TRADISIONAL yang manjur dan paten? Berikut adalah rinciannya:
Sariawan
Bahan: 11 kuntum bunga belimbing asam, asam jawa dan gula merah
Cara membuat: direbus bersama-sama dengan 2 gelas air sampai
mendidih hingga tinggal 1 gelas
Cara menggunakan: diminum pagi dan sore

Logo CB 175 Twin GW...JAP (back from the death)


Informasi terbaru Logo CB 175 Twin GW...JAP (back from the death) kami sediakan khusus untuk pembaca setia punyanbiu.blogspot.com, semoga informasi Logo CB 175 Twin GW...JAP (back from the death) memberikan pengetahuan lebih untuk kita semua. Tinggalkan komentar anda tentang Logo CB 175 Twin GW...JAP (back from the death) jika anda suka dengan artikel yang kami suguhkan.